Wednesday, May 28, 2014

Telah Terbit Buku Pertama A'yat Khalili " PEMBISIK MUSIM"

Judul : PEMBISIK MUSIM

Penulis : A'yat Khalili
Ukuran : 16 x20cm
Tebal : 90 hlm
Terbit : Maret 2014
Penerbit : Halaman Indonesia Publishing
Harga @Rp. 25.000,- (belum termasuk ongkos kirim). Bisa dipesan melalui nomor kontak 087750181820 (Madura), 0877 5024 0047 / 0856 0749 9674 (Surabaya), 0819 35178562 (Jogja), atau bisajuga melalui Inbox Fb ini.

Sekilas Tentang Isi Buku:

Pembisik Musim ini merupakan sekumpulan puisi A'yat Khalili, antara awal tahun 2006—awal ia menulis—sampai tahun 2013—suatu masa yang penuh pencarian, penuh tantangan, keinginan, harapan, gaya ungkap, diksi, maupun keterpecahan-keterpecahan di dalamnya—dengan nuansa tema yang sedikit banyak sama dan tetap berkelindan dalam ranah lokalitas-historis-religiositas suatu kecenderungan yang sejak mula memenuhi kerangka pengucapannya dalam menulis. Ada tarik-menarik dalam sejumlah ruang lingkup; keadaan, budaya, adat-istiadat, masyarakat, tempat di mana ia hidup tegak berdiri, menyerap, mengimbangi, merasakan, membaca dan memenuhi suasana ini.

Tentu saja kesan tersebut merupakan sebuah pengalaman (meski tidak secara langsung terlibat) ia serap, namun pembacaan dalam bingkai “ingatan” dari cerita demi cerita yang terus-menerus dilalui-ditempuh-dijajal, akhirnya cukup memengaruhi puisi-puisi itu. Beberapa di antaranya, juga merupakan pengalaman membaca lokalitas-historis luar, dalampengertian yang lebih luas, Nusantara, meski hanya ada satu-dua puisi masuk sebagai titik
tolak kerja atas warna-warni yang selama ini cukup menggetarkan prosesnya. Dan rupanya itu cukup mengasyikkan dalam membuatnya mengingat kembali asal-muasal. Ada sesuatu yang tersimpan dan luar biasa pada sejumlah tempat dan peristiwa yang ia baca dan ia lalui. Sesuatu yang sepertinya terus pergi dan kembali lagi pada diri sendiri—diri yang telah lama mengembara untuk kembali mengutuhkan dan memperbaiki keberadaannya. Dan Pembisik Musim inilah jejak pencariannya.


Sumber: http://tbbanjar.blogspot.com/2014/03/pembisik-musim-kumpulan-puisi.html

Thursday, July 7, 2011

PUISI-PUISIKU DI SASTRA DIGITAL

SASTRA DIGITAL ( Edisi Sabtu, 25 Juni 2011)

A'yat Khalili

PUISI DI TANGKAI

di tangkai-tangkai yang menggapai kegelapan

di tangkai-tangkai yang merobek bayang-bayang

aku menunggu dan mencari wajahmu jauh

serupa kabut lambat jatuh.

2010

KALUNG RANTAU

fragmen pelukis

di setiap sudut tubuhku telah kau kalungkan

segulung waktu, demi impian yang terus kuburu

kulalui sebagai pernak rantau. langit yang manakah lagi

hendak kugambar, kini tubuhku menyusuri

rimba tanpa kawah

kota-kota bagai lampu yang menyergap

ke balik lorong yang kujejak, sepanjang tanah kelahiran

2011

TEMBANG-TEMBANGAN DARI NEGERI SURAU

kawan-kawan dari timur

malam turun, ribuan kelelawar hijrah

meninggalkan riwayat bayang-bayang

tumpukan jerami busuk, bersemayam daun-daun

empat batang lilin, musim membanjir di halaman
menjelang pedalaman waktu

angin diam

ruang gerak
menyisakan celah dingin di rongga ranting
masih kita bayangkan
seanyam kembang berayun langkah di lepas jalan

DI PADANG

esha tegar putra

Di padang, aku membayangkan engkau

Berjubah wol, menjarah kata, menulis puisi,

Sendiri.

Di padang, aku mengingat engkau

Seperti bulir padi, menjarah bunyi, memanen diri

Yang terlanda sunyi.

2010

SINGGAH KE TANAH SIWALAN

tiba-tiba saja langit tembaga

dan harum lahang menyeka rambutku

dari kerlap pasir, laut yang mengalir

di balik kidungan nelayan

membakar pelayaran

mengingatkanku seutas kejung*

pada garis tanganmu yang keras

melepas pagan ke tengah laut

terlalu lekat kilau itu

di pinggir perigi di alun sungai

sepanjang jalan singgah

ke pedalaman pulau

batang-batang siwalan yang kuning

diterpa mentari yang tembaga

sehabis panen

menggarami tanah

yang dulu dikerat

dalam kasih sayang

sebagai impian

para leluhurku

Sumenep, 2011

* lagu/kidung, tradisi Madura, seperti; olle’-ollang paraona alajhere.

Worldwide copyright © A’yat Khalili. All rights reserved.

A’yat Khalili, bernama asli Khalili. Lahir di kampung Telentean desa Longos, Gapura, Sumenep, 10 Juli 1990. Ia selain menulis puisi, juga cerpen, esai, dan naskah kebudayaan agama. Memenangkan juara ke-2 lomba cipta puisi remaja tingkat nasional dalam rangka Bulan Bahasa & Sastra di Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional, Jakarta 2006; memenangkan juara 1 lomba penulisan sastra tingkat remaja Jawa Timur, di Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya 2006; memenangkan juara 1 sayembara penulisan sastra tingkat remaja Jawa Timur, di Teater Kedok SMAN 6 Surabaya 2007; memenangkan juara ke-2 lomba penulisan puisi religius tingkat mahasiswa se-Indonesia yang diadakan oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (Purwokerto, 2010); nomine lomba cipta puisi Forum Tinta Dakwah (FTD) Forum Lingkar Pena (FLP) Riau, 2010; nomine lomba menulis puisi bertajuk “Batu Bedil Award 2010” yang diadakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanggamus dalam rangka Festival Teluk Semaka (FTS) 2010; dan juara ke-1 lomba cipta puisi “Give Spirit For Indonesia 2011”, Januari 2011. Ia juga mengikuti undangan Liburan Sastra Pesantren (Berlibur, Berkarya, Bersastra) bersama Penerbit LKiS dan komunitas Matapena, Jogja 2008. Karya-karyanya yang sudah terbit: Akhir Sebuah Jalan (2006); Rumah Seribu Pintu (2007). Ia juga salah satu pendiri Rumah Sastra Bersama dan penggerak Bengkel Puisi Annuqayah.

Thursday, May 10, 2007

SKETSA BUKIT SAJADAH

--payudan1

di bukit itu
seperti dahulu aku melihatmu dari jendela kelam, melalui sungai yang mengalir
dalam sajadahmu. dan kutempuh jarak dari ulur waktu sepanjang siang
sepanjang malam
lalu kau lukis rinduku dengan tebing- tebing curam yang terlepas dari kenangan
aku berjalan mendaki seluruh kepedihan dari perih luka
kota yang jauh, bahkan laut dan batu-batu karang
disepanjang pantai

di bukit itu daun-daun menggugurkan kemarau, seperti jejatuh embun
dari pucuk ranting memahat batu-batu ke tubuhku
sementara angin di luar bertiup sangkal, kerontang jiwaku mengasah musim
dan burung-burung dari kejauhan menimbun kesunyian yang semakin memberat
meski rimbun dedaun itu memeram gerimis di sela dingin
bumi yang terus menggigil, pada putaran-putaran rindu dalam jantungmu

di bukit itu
seperti dahulu pohon-pohon dan ladang rumput gersang
dan kabut yang bangkit dari puncak gunung, berdesir menampung nyeri
lalu mengalir bersama gerai hujan dan airmataku, luruh ke bumi
disepanjang tol jalan meresap sunyi yang gemuruh
ke hutan dan belukar-belukar dalam dekapan panjang nafasmu

di bukit itu cinta tertanam dan kini telah mulai berkembang
wanginya menyentak keheningan, sukmamu dari mimpi dan goncangan- goncangan luka
menampung berlaksa resah, hingga samudra meratap, pupus angan
di pucuk mendung yang terbuai rindu
sebelum pecah takbirku

di bukit itu
seperti dahulu di antara ranting-ranting dan bunga yang berguguran
kurentangkan tangan yang mengapung di benua jauh
pada deru debu menjelma kemarau bagi trotoar jalan, angin yang tumbang
menyuburkan bintang-bintang, dan do'amu menghempas ke tebing-tebing malam
dari bongkahan-bongkahan batu dan gemericik air yang menggelora
di denyut bismilahmu. sementara di bukit itu
kakiku tersedak membangun rotasi diantara rangkaian asah tasbih
meneteskan nanah berbau kembang
di antara warid2 bebatuan, tanah gemetar tersumbat serampan cuaca
hingga hujan runtuh dalam sujudku

di bukit itu sebutir cahaya yang terselip di kuncup mawar, menancap
diantara gundukan-gundukan gunung dan gelombang di tengah tengadahmu
yang menyambar ke jantung dahaga dan tangis dari letih do'aku
maka kulayarkan sajadahmu merangkai mantra-mantra semesta
yang terperam dalam langit-Nya
lalu dari ratapan anganku, semburat musim jadi tua
menyayat bengkak, mengalir bersama nganga tubuhmu
menggoroh tanah dari genta rinduku
menggemakan pekik luka menjadi muara airmata

di bukit itu
seperti dahulu aku mencicipi manis kemarau
di padang hati yang kering, pohon-pohon naluri
bunga yang di tanam dalam do'amu tumbuh menggores ke jantung jiwaku
menyembur jurang darah, membiuskan kesunyian

di bukit itu kulihat kau masih kelam
menyimpan gelegat rindu dan gelombang mabuk air mata
dan pada tarian sajadahmu yang menepi ke lubuk lahatku
cinta kita mengapi, masih kureguk sebagai haus luka dan kesepian
ajalku, didalamnya sungai dan laut tak selesai kubaca
memasungkan bingkai matahari dan bulan ke nafas waktu
dalam do'a-Nya



*catatan:
1. nama sebuah dataran( bukit ) tertinggi di Madura yang terletak di desa Nangger, Guluk- guluk, Sumenep Madura 2 dalam istilah kamus sufi berarti suatu hidayah (petunjuk)yang di turunkan kedalam hati seorang hamba tampa di minta, kata warid juga di artikan dengan pengetahuan intuitif, ilham dan lain sebagainya.


** catatan:
puisi ini merupakan pemenang kedua lomba cipta puisi tingkat remaja nasional 2006, dalam rangka Bulan Bahasa dan Sastra 2006, yang diadakan Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional, yang diumumkan pada bulan november lalu, di Jakarta.

EPISODE MAP LUKA

--kepada bangsa indonesia

seusai sebuah tahun yang renta, aku bertanya padamu:
pada tangis yang mana kau mampu meletakkan badai?
dari pohon-pohon yang tumbang, memutar kembali daratan waktu
memangkas bongkahan- bongkahan tanah
mengguncang bumi, geletar kelam!

aku masih terus terkurung dalam ruang panjang kehidupan
meruah di gang- gang sejarah, dan bergumpal pada sendi perasaan
membendung arus laut
ketika detak jam yang menjauh, tinggalkan beserpih sunyi
petasan dan ledakan; dari genggaman sejumlah peristiwa
menadah ke liang rusuk paling tiram
hingga musim di pot-pot halaman tenggelam
berhentilah matahari!

di sana tempat kami melepas kekalutan hasrat
diriuh rindu yang melebuh, semua impian berujung malapetaka
walau masih ada arti, berhimpit serak di dada

dalam arus lumpur kau memandang
lukisan gelombang yang membenamkan palung wajahku
meski akhirnya batu, merindukan sungai bening di lautmu
aku telah menjelajah jauh, dari bentangan cakrawala, seluruh belantara
mengemban duka lara, yang terus mengaliri dasar jiwa
menyamudra!
( inilah sejarah yang menyayat bengkak dari jantung derita)

karena tulang dan rahang- rahang kenyataan telah menjadi pusaran sakal di halamanmu
sekarang musim yang berkelambu datang menyambangi jejak tanpa hulu
perahu dan lumut yang meruang di pantai menyambutmu
lalu dari keringat air mataku yang perlahan mengeras bait- bait kesunyian
menggiring puyuh angin, terdampar kapar di terkam gemuruh ratap
hingga kapal- kapal nelayan melepas jerit gelombang berpasang- pasang
saat itu dunia berputar dengan angkuhnya
---inilah pendakian yang kau simpan berabad- abad waktu

kini terbuka menghadap ke jalan, tak sampai- sampai
penyeberangan!
ketujuh puncak

berlinang dari keyakinan, beban- beban membahu; ke seluruh arah menghanyutkan
bertahan dari ayunan langkah masa lalu, hingga akar- akar berpendar
saat itu bergetar jagad dengan raung sumbangnya
mungkinkah, telah usai perang!
badai
airmata
dan nafas
kehidupan

sedang di sana kami masih terus menimang- nimang impian
impian yang terlantar, buih demi buih dari ruas jalan
dalam segala terduga menamcap perih, menderas lelah luka berdarah
ke ujung yang sunyi
tenggelam
jauh!
oh,
ke mana suatu kali nanti kita berangkat, menggapai kemenangan
dan kekalahan, sedang tanggul kembara yang mekar di kelopak semesta
yang lagi busuk dalam tetapa dan semedi waktu
menyayat gemetar di dada kami, meratapi mati
sementara kau kami lihat terus tersenyum mengagumi darah dan peluh
di sekujur badan

di sini kau temukan jalan berujung
saat bunga- bunga memetik reranting
angin membisik ke daun- daun
tubuh- tubuh kurus
bernyawa
lepas
dan musim gugur

hingga di mataku dunia kelekar
berlaksa dari padang- padang perburuan
laut, sungai, keringat dan airmata
lalu turut membaringkan tubuhmu
pada cengkaraman duka nestapa dan luka derita
yang bergelimpangan seperti bintik pancuran air hujan
yang jatuh di tanah halamanmu

hingga seutai sebuah tahun yang renta, aku masih sempat
bertanya padamu ; tentang tangis yang kau selipkan di telinga badai
bagaimana kali ini kabarnya?

* Catatan :
Puisi ini merupakan pemenang juara ke-1 lomba cipta puisi tingkat pelajar SLTA se-Jawa Timur 2006, yang diadakan oleh Taman Budaya Jawa Timur( TBJT, 2006).

BUJUK SALADI1


bukit ambar seribu malam, masih bergentayang menyerupa layar bayang bayang
merayapi dusun, perkampungan- perkampungan bertingkah seperti ayunan
berputar menebar sampir kemenyan doa dan daun daun yang terus gagar berlantun
memajang paras senja sore hari, lalu terdendang ke pandan lembut ladang ladang rumput
mengabarkan syair cinta yang lama tersimpan dengan sehelai nyanyian
dari ladang tanah yang terkupas membawa kembali perburuan panjang

dimanakah jejak itu?.
masa kanakku,

sementara dengan perlahan kesiur benak dan kelebat pandangan nanar
di matamu terbang, berhembus gemuruh doa, sejuta garis katulistiwa membentang
dari jarak jantungku seluas kenangan bernganga, menghempas batu batu
pada retina matamu yang tenggelam kebilik jendela penat masa lalu
dengan penuh beragam kuncup bunga bunga. hingga kini kau rindukan
tidur panjang itu. menjala mimpi, menembus tempurung kelam
setelah tertatap gemintang dan remang pengasingan

sudah usaikah perjalanan?

kita sudah mendayung zaman kehancuran
saling berkobar membakari beranda tua itu
tempat leluhur- leluhur dahulu bertapa meluapkan dahaga
memurungkan usia rindu berabad abad tahun penyesalan
sedang kau yang tercipta dari lambung ribuan madungan- madungan2 tanah ini
bertaruh dengan impian naluri yang terus terputar noktah cerita
sambil mendidihkan pohon pohon yang terus tumbang ke tanah asalmu kembali
mentenung suara azad masa silam yang terbuang jauh keunjur waktu

dimanakah jejak itu?.
masa kanakku,

rumbia sejarah di tanah bumi ini
telah teranyam sebatang usia dari jejak- jejak perburuan
mendekap rusuk sukma; tempat lolobaran3 orang orang yang terhiba
yang pernah meninggalkan segerai rambut memutih dibawah pelupukmu
sesaat sebelum tulah dari pagutan sukma terlepas mengejar buru peradaban

duh, gusti.
sungai Cangkreng4
sungai Banggerbung5

burung- burung telah berhinggapan
bersalin tembang senja, hingga kecapi kembali terpetik dalam naluri jiwa

dari tanah asalmu pergi, perburuan panjang
membangunkan nyanyian asing di surau surau desa
seperti puncak menara, berserakan batu saga
kayu kuduk yang terpenggal berjajar sepi melingkari bandar tunggu
kemudian langgeng dalam kenangan jejakmu
dan mereka yang terpulang jauh, dari labuh tanah kelahiran itu
membawa seikat sajen dupa; berisi mantra mantra jaza' 6 yang ditanam
permadani doa restu dan selendir lelantun kidung tua; penghuni bukit Garincang7
tentang tulang tulang perasaan yang tersembunyi lelap; terkabar jauh
ke negeri poles8. menjelma sayup debu, kembang kembang jasad yang bermekaran
pada setiap dataran tanah

dimanakah jejak itu?.
masa kanakku,

dari tanah asalmu pergi kemudian pulang, menata impian yang hilang
hingga kini kau rindukan tidur panjang itu. menyulam kembali
hamparan hamparan mimpi; bias rasa sakit yang tak terperi
dan kemurungan usia sepanjang jalan
dan mereka yang terpulang jauh, dari labuh tanah kelahiran itu
telah kembali menggali hutan kenangan; sebuah tanjung kemenangan
dengan darah perburuan. sambil mengadzankan dendang panjang impian
pada beribu tahun jejak jejak perjuangan

dimanakah jejak itu?.
masa kanakku,

hingga kembali sungai- sungai itu seperti terus mengalir
dari bentang ingatanku yang murung. dan terus berputar
menemu tubuhnya sendiri diantara dua bukit tua itu
dalam pangkuanmu

kemudian ada darah
ada penghidupan Telentean9
menuju alam; mempertaruhkan pengasingan abadi



* catatan:
1. Bujuk Saladi. bujuk; asta/ pemakaman. Saladi; sebuah bukit. konon nama itu diambil dari nama seorang zaman kuno( seorang wali, kyai Saladi) yang meninggal disekitar dataran tinggi (bukit) itu, dan tepat dimakamkan di atasnya. terletak didesa Longos, kec. Gapura, kab. Sumenep.
2. Madungan, sebuah tempat bergoa(seperti goa, tidak dalam dan panjang terusan), tetapi memiliki ciri khas tersendiri. yang hingga kini menjadi kehidupan menata tikar bagi warga setempat, dan juga tempat-tempat peristirahatan.
3. Lolobaran, merayakan hari selamatan(setiap tahun), berziarah ke asta-asta(bujuk), dan kata ini memiliki tafsir dan makna keindahan adat/ kebiasaan tersendiri bagi masyarakat..
4. Sungai Cangkreng, sungai yang menjadi penghidupan/ pemandian warga(kampung setempat) yang berada di desa itu.
5. Sungai Benggerbung, sungai yang mengalir di sebelah selatannya sungai cangkreng. sungai ini dikenal memiliki keghaiban dan ditakuti warga didesa itu.
6. Jaza', seorang leluhur/ wali yang mengajarkan pertama kali tentang ajaran mengenal agama.
7. Bukit Garincang, adalah dataran tinggi yang ada disebelah utaranya Bukit Saladi, mempunyai sejarah tertentu.
8. Poles, nama pohon, yang kini telah menjadi nama sebuah asta leluhur(raja-raja) sumenep pada zaman majapahit dahulu, yang terletak didesa itu.
9. Telentean, sebuah nama kampung kecil yang dahulu masih tidak mengenal ajaran-aajaran agama, ketimbang kampung dan desa-desa yang lainnya, yang terletak didesa itu.

**catatan lain:
Desa Longos, adalah desa terluas yang berada di kec. Gapura, kab. Sumenep. Sehingga desa itu dibagi menjadi beberapa dusun/ kampung, seperti Telentean, Abu- abu, Gindaga, Bintaro, Kotde, Landek, Timur Sungai, Barat Sungai dan lain lain.


*** Catatan selanjutnya:
Puisi ini merupakan pemenang juara ke-1 lomba cipta puisi tingkat pelajar SLTA/sederajat se-Jawa Timur 2006, yang diadakan oleh Teater Kedok SMAN 6 Surabaya.

GINDAGA*


pohon sabu, pohon jati jati
kembalilah ke tanah itu
ceritakan pelayaran si jelita. dari labuhan Bintaro** ke Banyuangi
seperti putaran sediakala. saat dalem dalem*** merunduk alum
ke telapak bumi

daun daun gagar berlantun
melintas padang senja, sepanjang jejak
gerombolan kaki orang orang perjalanan
yang menemu impian tempat sebelum kafilah tumbila
menusuk kedalam pandan tibra sejarah

pohon sabu, pohon jati jati
bunga bunga gadis desa
sepenggal nyanyian tampak menggebu, menangkap tubuhmu
berhijauan menyisir tempat tersembunyi di surau surau
membalut wajah kita untuk mengadu kepelataran tanah

kau pandang. seperti putaran sedikala
ada ingatan berdarah ngalir
ada nganga luka disetiap dataran jantungku yang menggigil
bagai maur duka yang terus terputar memburu seorang yang pernah
singgah dengan sekawalan binatang buas yang berbagi matamu
dengan mata getir seorang pembunuh masa lalu

sepanjang jejak
sejengkal tanah demi sejengkal tanah. jalanan memuram
orang orang saling menerapung jasad
menginapi rumah rumah rahasia
inikah bukti awal pengembaraan, beribu jejak menyasar?

yang terlampau untuk kembali memupuk masa depan
sambil membesuk tubuhmu
serempak berdetak,
samar menyamar sepanjang jalan
hingga kemudian mereka terlahir menembus dinding tanah impian
sampai menemu arah kehancuran

o, dimanakah ada tempat untukmu kembali
sementara sangkakala kehidupan telah terputar jauh
sebelum sarang dunia sempat mewarisi segalanya

pohon sabu, pohon jati jati
kembalilah ke tanah itu
kita sudah tak punya sabetan sabetan kenangan
yang terseret dari tempat pengadilan waktu
kita hanya mampu memandang jarak
untuk mereka kembali menggubahnya
menjadi titik alam pengasingan

catatan:
* Gindaga; sebuah nama kampung kecil didesa Longos, kec. Gapura, kab. Sumenep
yang kini menjadi nama sebuah asta kuno( pemakaman orang orang terdahulu), yaitu asta Gindaga.
** Bintaro; sebuah pelabuhan kecil, yang menjadi mata pencaharian kehidupan warga didesa itu. *** Dalem; seseorang yang mempunyai derajat tinggi di masyarakatnya

AQABAH

--minhajul abidin

dari simpang ujung, kau datang
menempuh perjalanan waktu. seribu matahari
berbilah perigi sungai. kitapun tak sampai
sementara dari mata getir ngalir kehilir
tinggalkan semesta bayang
kenangan haru kota itu

kau pandang.sudah berkali kali mereka berangkat
jalan sangai, bersebadan teluk
sebatang tanah pisau
serupa kayu lapuk
menepis garis rahasia
dari seutas halaman kitab suci
dalam mimpi; menuju pendakian usia

menara puncak. telah pasang
melampaui segala bayang bayang baqa’
membuka jazab yang hilang jalan
impian takkan kita temu
saat bunga bunga durjana mulai gugur tangga
sepanjang sejarah
tempat kelak kau bayangkan
menuju alam pengasingan
mereka. mungkin juga kita,
tak mampu menggapai puncak
menempuh pengelanaan kadirat
di daki ketujuh usah isyarat diperam
sejauh impian berlari pada hamparan jabarut
sejak pengembaraan itu telah dimulai
pada matamu seribu keris membara
di jiwaku merpati merpati beterbangan
menjelma putaran pasir
usapkan arus gelombang
seperti pencapaian. dua langkah saling beradu
berbagi cerita akhir

lalu perjalanan kitapun tak sampai
menebing ribuan madungan
hingga aqabah hampir mewarisi segalanya
impian kami. puncak kebahagian kami
dan sebatang tombak buru telah raib baja
bagi jejak takdir; ujung dari perjalanan
sepanjang menempuh usia