Thursday, May 10, 2007

EPISODE MAP LUKA

--kepada bangsa indonesia

seusai sebuah tahun yang renta, aku bertanya padamu:
pada tangis yang mana kau mampu meletakkan badai?
dari pohon-pohon yang tumbang, memutar kembali daratan waktu
memangkas bongkahan- bongkahan tanah
mengguncang bumi, geletar kelam!

aku masih terus terkurung dalam ruang panjang kehidupan
meruah di gang- gang sejarah, dan bergumpal pada sendi perasaan
membendung arus laut
ketika detak jam yang menjauh, tinggalkan beserpih sunyi
petasan dan ledakan; dari genggaman sejumlah peristiwa
menadah ke liang rusuk paling tiram
hingga musim di pot-pot halaman tenggelam
berhentilah matahari!

di sana tempat kami melepas kekalutan hasrat
diriuh rindu yang melebuh, semua impian berujung malapetaka
walau masih ada arti, berhimpit serak di dada

dalam arus lumpur kau memandang
lukisan gelombang yang membenamkan palung wajahku
meski akhirnya batu, merindukan sungai bening di lautmu
aku telah menjelajah jauh, dari bentangan cakrawala, seluruh belantara
mengemban duka lara, yang terus mengaliri dasar jiwa
menyamudra!
( inilah sejarah yang menyayat bengkak dari jantung derita)

karena tulang dan rahang- rahang kenyataan telah menjadi pusaran sakal di halamanmu
sekarang musim yang berkelambu datang menyambangi jejak tanpa hulu
perahu dan lumut yang meruang di pantai menyambutmu
lalu dari keringat air mataku yang perlahan mengeras bait- bait kesunyian
menggiring puyuh angin, terdampar kapar di terkam gemuruh ratap
hingga kapal- kapal nelayan melepas jerit gelombang berpasang- pasang
saat itu dunia berputar dengan angkuhnya
---inilah pendakian yang kau simpan berabad- abad waktu

kini terbuka menghadap ke jalan, tak sampai- sampai
penyeberangan!
ketujuh puncak

berlinang dari keyakinan, beban- beban membahu; ke seluruh arah menghanyutkan
bertahan dari ayunan langkah masa lalu, hingga akar- akar berpendar
saat itu bergetar jagad dengan raung sumbangnya
mungkinkah, telah usai perang!
badai
airmata
dan nafas
kehidupan

sedang di sana kami masih terus menimang- nimang impian
impian yang terlantar, buih demi buih dari ruas jalan
dalam segala terduga menamcap perih, menderas lelah luka berdarah
ke ujung yang sunyi
tenggelam
jauh!
oh,
ke mana suatu kali nanti kita berangkat, menggapai kemenangan
dan kekalahan, sedang tanggul kembara yang mekar di kelopak semesta
yang lagi busuk dalam tetapa dan semedi waktu
menyayat gemetar di dada kami, meratapi mati
sementara kau kami lihat terus tersenyum mengagumi darah dan peluh
di sekujur badan

di sini kau temukan jalan berujung
saat bunga- bunga memetik reranting
angin membisik ke daun- daun
tubuh- tubuh kurus
bernyawa
lepas
dan musim gugur

hingga di mataku dunia kelekar
berlaksa dari padang- padang perburuan
laut, sungai, keringat dan airmata
lalu turut membaringkan tubuhmu
pada cengkaraman duka nestapa dan luka derita
yang bergelimpangan seperti bintik pancuran air hujan
yang jatuh di tanah halamanmu

hingga seutai sebuah tahun yang renta, aku masih sempat
bertanya padamu ; tentang tangis yang kau selipkan di telinga badai
bagaimana kali ini kabarnya?

* Catatan :
Puisi ini merupakan pemenang juara ke-1 lomba cipta puisi tingkat pelajar SLTA se-Jawa Timur 2006, yang diadakan oleh Taman Budaya Jawa Timur( TBJT, 2006).

No comments: