--payudan1
di bukit itu
seperti dahulu aku melihatmu dari jendela kelam, melalui sungai yang mengalir
dalam sajadahmu. dan kutempuh jarak dari ulur waktu sepanjang siang
sepanjang malam
lalu kau lukis rinduku dengan tebing- tebing curam yang terlepas dari kenangan
aku berjalan mendaki seluruh kepedihan dari perih luka
kota yang jauh, bahkan laut dan batu-batu karang
disepanjang pantai
di bukit itu daun-daun menggugurkan kemarau, seperti jejatuh embun
dari pucuk ranting memahat batu-batu ke tubuhku
sementara angin di luar bertiup sangkal, kerontang jiwaku mengasah musim
dan burung-burung dari kejauhan menimbun kesunyian yang semakin memberat
meski rimbun dedaun itu memeram gerimis di sela dingin
bumi yang terus menggigil, pada putaran-putaran rindu dalam jantungmu
di bukit itu
seperti dahulu pohon-pohon dan ladang rumput gersang
dan kabut yang bangkit dari puncak gunung, berdesir menampung nyeri
lalu mengalir bersama gerai hujan dan airmataku, luruh ke bumi
disepanjang tol jalan meresap sunyi yang gemuruh
ke hutan dan belukar-belukar dalam dekapan panjang nafasmu
di bukit itu cinta tertanam dan kini telah mulai berkembang
wanginya menyentak keheningan, sukmamu dari mimpi dan goncangan- goncangan luka
menampung berlaksa resah, hingga samudra meratap, pupus angan
di pucuk mendung yang terbuai rindu
sebelum pecah takbirku
di bukit itu
seperti dahulu di antara ranting-ranting dan bunga yang berguguran
kurentangkan tangan yang mengapung di benua jauh
pada deru debu menjelma kemarau bagi trotoar jalan, angin yang tumbang
menyuburkan bintang-bintang, dan do'amu menghempas ke tebing-tebing malam
dari bongkahan-bongkahan batu dan gemericik air yang menggelora
di denyut bismilahmu. sementara di bukit itu
kakiku tersedak membangun rotasi diantara rangkaian asah tasbih
meneteskan nanah berbau kembang
di antara warid2 bebatuan, tanah gemetar tersumbat serampan cuaca
hingga hujan runtuh dalam sujudku
di bukit itu sebutir cahaya yang terselip di kuncup mawar, menancap
diantara gundukan-gundukan gunung dan gelombang di tengah tengadahmu
yang menyambar ke jantung dahaga dan tangis dari letih do'aku
maka kulayarkan sajadahmu merangkai mantra-mantra semesta
yang terperam dalam langit-Nya
lalu dari ratapan anganku, semburat musim jadi tua
menyayat bengkak, mengalir bersama nganga tubuhmu
menggoroh tanah dari genta rinduku
menggemakan pekik luka menjadi muara airmata
di bukit itu
seperti dahulu aku mencicipi manis kemarau
di padang hati yang kering, pohon-pohon naluri
bunga yang di tanam dalam do'amu tumbuh menggores ke jantung jiwaku
menyembur jurang darah, membiuskan kesunyian
di bukit itu kulihat kau masih kelam
menyimpan gelegat rindu dan gelombang mabuk air mata
dan pada tarian sajadahmu yang menepi ke lubuk lahatku
cinta kita mengapi, masih kureguk sebagai haus luka dan kesepian
ajalku, didalamnya sungai dan laut tak selesai kubaca
memasungkan bingkai matahari dan bulan ke nafas waktu
dalam do'a-Nya
*catatan:
1. nama sebuah dataran( bukit ) tertinggi di Madura yang terletak di desa Nangger, Guluk- guluk, Sumenep Madura 2 dalam istilah kamus sufi berarti suatu hidayah (petunjuk)yang di turunkan kedalam hati seorang hamba tampa di minta, kata warid juga di artikan dengan pengetahuan intuitif, ilham dan lain sebagainya.
** catatan:
puisi ini merupakan pemenang kedua lomba cipta puisi tingkat remaja nasional 2006, dalam rangka Bulan Bahasa dan Sastra 2006, yang diadakan Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional, yang diumumkan pada bulan november lalu, di Jakarta.
Thursday, May 10, 2007
EPISODE MAP LUKA
--kepada bangsa indonesia
seusai sebuah tahun yang renta, aku bertanya padamu:
pada tangis yang mana kau mampu meletakkan badai?
dari pohon-pohon yang tumbang, memutar kembali daratan waktu
memangkas bongkahan- bongkahan tanah
mengguncang bumi, geletar kelam!
aku masih terus terkurung dalam ruang panjang kehidupan
meruah di gang- gang sejarah, dan bergumpal pada sendi perasaan
membendung arus laut
ketika detak jam yang menjauh, tinggalkan beserpih sunyi
petasan dan ledakan; dari genggaman sejumlah peristiwa
menadah ke liang rusuk paling tiram
hingga musim di pot-pot halaman tenggelam
berhentilah matahari!
di sana tempat kami melepas kekalutan hasrat
diriuh rindu yang melebuh, semua impian berujung malapetaka
walau masih ada arti, berhimpit serak di dada
dalam arus lumpur kau memandang
lukisan gelombang yang membenamkan palung wajahku
meski akhirnya batu, merindukan sungai bening di lautmu
aku telah menjelajah jauh, dari bentangan cakrawala, seluruh belantara
mengemban duka lara, yang terus mengaliri dasar jiwa
menyamudra!
( inilah sejarah yang menyayat bengkak dari jantung derita)
karena tulang dan rahang- rahang kenyataan telah menjadi pusaran sakal di halamanmu
sekarang musim yang berkelambu datang menyambangi jejak tanpa hulu
perahu dan lumut yang meruang di pantai menyambutmu
lalu dari keringat air mataku yang perlahan mengeras bait- bait kesunyian
menggiring puyuh angin, terdampar kapar di terkam gemuruh ratap
hingga kapal- kapal nelayan melepas jerit gelombang berpasang- pasang
saat itu dunia berputar dengan angkuhnya
---inilah pendakian yang kau simpan berabad- abad waktu
kini terbuka menghadap ke jalan, tak sampai- sampai
penyeberangan!
ketujuh puncak
berlinang dari keyakinan, beban- beban membahu; ke seluruh arah menghanyutkan
bertahan dari ayunan langkah masa lalu, hingga akar- akar berpendar
saat itu bergetar jagad dengan raung sumbangnya
mungkinkah, telah usai perang!
badai
airmata
dan nafas
kehidupan
sedang di sana kami masih terus menimang- nimang impian
impian yang terlantar, buih demi buih dari ruas jalan
dalam segala terduga menamcap perih, menderas lelah luka berdarah
ke ujung yang sunyi
tenggelam
jauh!
oh,
ke mana suatu kali nanti kita berangkat, menggapai kemenangan
dan kekalahan, sedang tanggul kembara yang mekar di kelopak semesta
yang lagi busuk dalam tetapa dan semedi waktu
menyayat gemetar di dada kami, meratapi mati
sementara kau kami lihat terus tersenyum mengagumi darah dan peluh
di sekujur badan
di sini kau temukan jalan berujung
saat bunga- bunga memetik reranting
angin membisik ke daun- daun
tubuh- tubuh kurus
bernyawa
lepas
dan musim gugur
hingga di mataku dunia kelekar
berlaksa dari padang- padang perburuan
laut, sungai, keringat dan airmata
lalu turut membaringkan tubuhmu
pada cengkaraman duka nestapa dan luka derita
yang bergelimpangan seperti bintik pancuran air hujan
yang jatuh di tanah halamanmu
hingga seutai sebuah tahun yang renta, aku masih sempat
bertanya padamu ; tentang tangis yang kau selipkan di telinga badai
bagaimana kali ini kabarnya?
* Catatan :
Puisi ini merupakan pemenang juara ke-1 lomba cipta puisi tingkat pelajar SLTA se-Jawa Timur 2006, yang diadakan oleh Taman Budaya Jawa Timur( TBJT, 2006).
seusai sebuah tahun yang renta, aku bertanya padamu:
pada tangis yang mana kau mampu meletakkan badai?
dari pohon-pohon yang tumbang, memutar kembali daratan waktu
memangkas bongkahan- bongkahan tanah
mengguncang bumi, geletar kelam!
aku masih terus terkurung dalam ruang panjang kehidupan
meruah di gang- gang sejarah, dan bergumpal pada sendi perasaan
membendung arus laut
ketika detak jam yang menjauh, tinggalkan beserpih sunyi
petasan dan ledakan; dari genggaman sejumlah peristiwa
menadah ke liang rusuk paling tiram
hingga musim di pot-pot halaman tenggelam
berhentilah matahari!
di sana tempat kami melepas kekalutan hasrat
diriuh rindu yang melebuh, semua impian berujung malapetaka
walau masih ada arti, berhimpit serak di dada
dalam arus lumpur kau memandang
lukisan gelombang yang membenamkan palung wajahku
meski akhirnya batu, merindukan sungai bening di lautmu
aku telah menjelajah jauh, dari bentangan cakrawala, seluruh belantara
mengemban duka lara, yang terus mengaliri dasar jiwa
menyamudra!
( inilah sejarah yang menyayat bengkak dari jantung derita)
karena tulang dan rahang- rahang kenyataan telah menjadi pusaran sakal di halamanmu
sekarang musim yang berkelambu datang menyambangi jejak tanpa hulu
perahu dan lumut yang meruang di pantai menyambutmu
lalu dari keringat air mataku yang perlahan mengeras bait- bait kesunyian
menggiring puyuh angin, terdampar kapar di terkam gemuruh ratap
hingga kapal- kapal nelayan melepas jerit gelombang berpasang- pasang
saat itu dunia berputar dengan angkuhnya
---inilah pendakian yang kau simpan berabad- abad waktu
kini terbuka menghadap ke jalan, tak sampai- sampai
penyeberangan!
ketujuh puncak
berlinang dari keyakinan, beban- beban membahu; ke seluruh arah menghanyutkan
bertahan dari ayunan langkah masa lalu, hingga akar- akar berpendar
saat itu bergetar jagad dengan raung sumbangnya
mungkinkah, telah usai perang!
badai
airmata
dan nafas
kehidupan
sedang di sana kami masih terus menimang- nimang impian
impian yang terlantar, buih demi buih dari ruas jalan
dalam segala terduga menamcap perih, menderas lelah luka berdarah
ke ujung yang sunyi
tenggelam
jauh!
oh,
ke mana suatu kali nanti kita berangkat, menggapai kemenangan
dan kekalahan, sedang tanggul kembara yang mekar di kelopak semesta
yang lagi busuk dalam tetapa dan semedi waktu
menyayat gemetar di dada kami, meratapi mati
sementara kau kami lihat terus tersenyum mengagumi darah dan peluh
di sekujur badan
di sini kau temukan jalan berujung
saat bunga- bunga memetik reranting
angin membisik ke daun- daun
tubuh- tubuh kurus
bernyawa
lepas
dan musim gugur
hingga di mataku dunia kelekar
berlaksa dari padang- padang perburuan
laut, sungai, keringat dan airmata
lalu turut membaringkan tubuhmu
pada cengkaraman duka nestapa dan luka derita
yang bergelimpangan seperti bintik pancuran air hujan
yang jatuh di tanah halamanmu
hingga seutai sebuah tahun yang renta, aku masih sempat
bertanya padamu ; tentang tangis yang kau selipkan di telinga badai
bagaimana kali ini kabarnya?
* Catatan :
Puisi ini merupakan pemenang juara ke-1 lomba cipta puisi tingkat pelajar SLTA se-Jawa Timur 2006, yang diadakan oleh Taman Budaya Jawa Timur( TBJT, 2006).
BUJUK SALADI1
bukit ambar seribu malam, masih bergentayang menyerupa layar bayang bayang
merayapi dusun, perkampungan- perkampungan bertingkah seperti ayunan
berputar menebar sampir kemenyan doa dan daun daun yang terus gagar berlantun
memajang paras senja sore hari, lalu terdendang ke pandan lembut ladang ladang rumput
mengabarkan syair cinta yang lama tersimpan dengan sehelai nyanyian
dari ladang tanah yang terkupas membawa kembali perburuan panjang
dimanakah jejak itu?.
masa kanakku,
sementara dengan perlahan kesiur benak dan kelebat pandangan nanar
di matamu terbang, berhembus gemuruh doa, sejuta garis katulistiwa membentang
dari jarak jantungku seluas kenangan bernganga, menghempas batu batu
pada retina matamu yang tenggelam kebilik jendela penat masa lalu
dengan penuh beragam kuncup bunga bunga. hingga kini kau rindukan
tidur panjang itu. menjala mimpi, menembus tempurung kelam
setelah tertatap gemintang dan remang pengasingan
sudah usaikah perjalanan?
kita sudah mendayung zaman kehancuran
saling berkobar membakari beranda tua itu
tempat leluhur- leluhur dahulu bertapa meluapkan dahaga
memurungkan usia rindu berabad abad tahun penyesalan
sedang kau yang tercipta dari lambung ribuan madungan- madungan2 tanah ini
bertaruh dengan impian naluri yang terus terputar noktah cerita
sambil mendidihkan pohon pohon yang terus tumbang ke tanah asalmu kembali
mentenung suara azad masa silam yang terbuang jauh keunjur waktu
dimanakah jejak itu?.
masa kanakku,
rumbia sejarah di tanah bumi ini
telah teranyam sebatang usia dari jejak- jejak perburuan
mendekap rusuk sukma; tempat lolobaran3 orang orang yang terhiba
yang pernah meninggalkan segerai rambut memutih dibawah pelupukmu
sesaat sebelum tulah dari pagutan sukma terlepas mengejar buru peradaban
duh, gusti.
sungai Cangkreng4
sungai Banggerbung5
burung- burung telah berhinggapan
bersalin tembang senja, hingga kecapi kembali terpetik dalam naluri jiwa
dari tanah asalmu pergi, perburuan panjang
membangunkan nyanyian asing di surau surau desa
seperti puncak menara, berserakan batu saga
kayu kuduk yang terpenggal berjajar sepi melingkari bandar tunggu
kemudian langgeng dalam kenangan jejakmu
dan mereka yang terpulang jauh, dari labuh tanah kelahiran itu
membawa seikat sajen dupa; berisi mantra mantra jaza' 6 yang ditanam
permadani doa restu dan selendir lelantun kidung tua; penghuni bukit Garincang7
tentang tulang tulang perasaan yang tersembunyi lelap; terkabar jauh
ke negeri poles8. menjelma sayup debu, kembang kembang jasad yang bermekaran
pada setiap dataran tanah
dimanakah jejak itu?.
masa kanakku,
dari tanah asalmu pergi kemudian pulang, menata impian yang hilang
hingga kini kau rindukan tidur panjang itu. menyulam kembali
hamparan hamparan mimpi; bias rasa sakit yang tak terperi
dan kemurungan usia sepanjang jalan
dan mereka yang terpulang jauh, dari labuh tanah kelahiran itu
telah kembali menggali hutan kenangan; sebuah tanjung kemenangan
dengan darah perburuan. sambil mengadzankan dendang panjang impian
pada beribu tahun jejak jejak perjuangan
dimanakah jejak itu?.
masa kanakku,
hingga kembali sungai- sungai itu seperti terus mengalir
dari bentang ingatanku yang murung. dan terus berputar
menemu tubuhnya sendiri diantara dua bukit tua itu
dalam pangkuanmu
kemudian ada darah
ada penghidupan Telentean9
menuju alam; mempertaruhkan pengasingan abadi
* catatan:
1. Bujuk Saladi. bujuk; asta/ pemakaman. Saladi; sebuah bukit. konon nama itu diambil dari nama seorang zaman kuno( seorang wali, kyai Saladi) yang meninggal disekitar dataran tinggi (bukit) itu, dan tepat dimakamkan di atasnya. terletak didesa Longos, kec. Gapura, kab. Sumenep.
2. Madungan, sebuah tempat bergoa(seperti goa, tidak dalam dan panjang terusan), tetapi memiliki ciri khas tersendiri. yang hingga kini menjadi kehidupan menata tikar bagi warga setempat, dan juga tempat-tempat peristirahatan.
3. Lolobaran, merayakan hari selamatan(setiap tahun), berziarah ke asta-asta(bujuk), dan kata ini memiliki tafsir dan makna keindahan adat/ kebiasaan tersendiri bagi masyarakat..
4. Sungai Cangkreng, sungai yang menjadi penghidupan/ pemandian warga(kampung setempat) yang berada di desa itu.
5. Sungai Benggerbung, sungai yang mengalir di sebelah selatannya sungai cangkreng. sungai ini dikenal memiliki keghaiban dan ditakuti warga didesa itu.
6. Jaza', seorang leluhur/ wali yang mengajarkan pertama kali tentang ajaran mengenal agama.
7. Bukit Garincang, adalah dataran tinggi yang ada disebelah utaranya Bukit Saladi, mempunyai sejarah tertentu.
8. Poles, nama pohon, yang kini telah menjadi nama sebuah asta leluhur(raja-raja) sumenep pada zaman majapahit dahulu, yang terletak didesa itu.
9. Telentean, sebuah nama kampung kecil yang dahulu masih tidak mengenal ajaran-aajaran agama, ketimbang kampung dan desa-desa yang lainnya, yang terletak didesa itu.
**catatan lain:
Desa Longos, adalah desa terluas yang berada di kec. Gapura, kab. Sumenep. Sehingga desa itu dibagi menjadi beberapa dusun/ kampung, seperti Telentean, Abu- abu, Gindaga, Bintaro, Kotde, Landek, Timur Sungai, Barat Sungai dan lain lain.
*** Catatan selanjutnya:
Puisi ini merupakan pemenang juara ke-1 lomba cipta puisi tingkat pelajar SLTA/sederajat se-Jawa Timur 2006, yang diadakan oleh Teater Kedok SMAN 6 Surabaya.
GINDAGA*
pohon sabu, pohon jati jati
kembalilah ke tanah itu
ceritakan pelayaran si jelita. dari labuhan Bintaro** ke Banyuangi
seperti putaran sediakala. saat dalem dalem*** merunduk alum
ke telapak bumi
daun daun gagar berlantun
melintas padang senja, sepanjang jejak
gerombolan kaki orang orang perjalanan
yang menemu impian tempat sebelum kafilah tumbila
menusuk kedalam pandan tibra sejarah
pohon sabu, pohon jati jati
bunga bunga gadis desa
sepenggal nyanyian tampak menggebu, menangkap tubuhmu
berhijauan menyisir tempat tersembunyi di surau surau
membalut wajah kita untuk mengadu kepelataran tanah
kau pandang. seperti putaran sedikala
ada ingatan berdarah ngalir
ada nganga luka disetiap dataran jantungku yang menggigil
bagai maur duka yang terus terputar memburu seorang yang pernah
singgah dengan sekawalan binatang buas yang berbagi matamu
dengan mata getir seorang pembunuh masa lalu
sepanjang jejak
sejengkal tanah demi sejengkal tanah. jalanan memuram
orang orang saling menerapung jasad
menginapi rumah rumah rahasia
inikah bukti awal pengembaraan, beribu jejak menyasar?
yang terlampau untuk kembali memupuk masa depan
sambil membesuk tubuhmu
serempak berdetak,
samar menyamar sepanjang jalan
hingga kemudian mereka terlahir menembus dinding tanah impian
sampai menemu arah kehancuran
o, dimanakah ada tempat untukmu kembali
sementara sangkakala kehidupan telah terputar jauh
sebelum sarang dunia sempat mewarisi segalanya
pohon sabu, pohon jati jati
kembalilah ke tanah itu
kita sudah tak punya sabetan sabetan kenangan
yang terseret dari tempat pengadilan waktu
kita hanya mampu memandang jarak
untuk mereka kembali menggubahnya
menjadi titik alam pengasingan
catatan:
* Gindaga; sebuah nama kampung kecil didesa Longos, kec. Gapura, kab. Sumenep
yang kini menjadi nama sebuah asta kuno( pemakaman orang orang terdahulu), yaitu asta Gindaga.
** Bintaro; sebuah pelabuhan kecil, yang menjadi mata pencaharian kehidupan warga didesa itu. *** Dalem; seseorang yang mempunyai derajat tinggi di masyarakatnya
AQABAH
--minhajul abidin
dari simpang ujung, kau datang
menempuh perjalanan waktu. seribu matahari
berbilah perigi sungai. kitapun tak sampai
sementara dari mata getir ngalir kehilir
tinggalkan semesta bayang
kenangan haru kota itu
kau pandang.sudah berkali kali mereka berangkat
jalan sangai, bersebadan teluk
sebatang tanah pisau
serupa kayu lapuk
menepis garis rahasia
dari seutas halaman kitab suci
dalam mimpi; menuju pendakian usia
menara puncak. telah pasang
melampaui segala bayang bayang baqa’
membuka jazab yang hilang jalan
impian takkan kita temu
saat bunga bunga durjana mulai gugur tangga
sepanjang sejarah
tempat kelak kau bayangkan
menuju alam pengasingan
mereka. mungkin juga kita,
tak mampu menggapai puncak
menempuh pengelanaan kadirat
di daki ketujuh usah isyarat diperam
sejauh impian berlari pada hamparan jabarut
sejak pengembaraan itu telah dimulai
pada matamu seribu keris membara
di jiwaku merpati merpati beterbangan
menjelma putaran pasir
usapkan arus gelombang
seperti pencapaian. dua langkah saling beradu
berbagi cerita akhir
lalu perjalanan kitapun tak sampai
menebing ribuan madungan
hingga aqabah hampir mewarisi segalanya
impian kami. puncak kebahagian kami
dan sebatang tombak buru telah raib baja
bagi jejak takdir; ujung dari perjalanan
sepanjang menempuh usia
dari simpang ujung, kau datang
menempuh perjalanan waktu. seribu matahari
berbilah perigi sungai. kitapun tak sampai
sementara dari mata getir ngalir kehilir
tinggalkan semesta bayang
kenangan haru kota itu
kau pandang.sudah berkali kali mereka berangkat
jalan sangai, bersebadan teluk
sebatang tanah pisau
serupa kayu lapuk
menepis garis rahasia
dari seutas halaman kitab suci
dalam mimpi; menuju pendakian usia
menara puncak. telah pasang
melampaui segala bayang bayang baqa’
membuka jazab yang hilang jalan
impian takkan kita temu
saat bunga bunga durjana mulai gugur tangga
sepanjang sejarah
tempat kelak kau bayangkan
menuju alam pengasingan
mereka. mungkin juga kita,
tak mampu menggapai puncak
menempuh pengelanaan kadirat
di daki ketujuh usah isyarat diperam
sejauh impian berlari pada hamparan jabarut
sejak pengembaraan itu telah dimulai
pada matamu seribu keris membara
di jiwaku merpati merpati beterbangan
menjelma putaran pasir
usapkan arus gelombang
seperti pencapaian. dua langkah saling beradu
berbagi cerita akhir
lalu perjalanan kitapun tak sampai
menebing ribuan madungan
hingga aqabah hampir mewarisi segalanya
impian kami. puncak kebahagian kami
dan sebatang tombak buru telah raib baja
bagi jejak takdir; ujung dari perjalanan
sepanjang menempuh usia
CATATAN DILUAR KEMERDEKAAN
---kepada bangsa indonesia
1.
aku juga punya cita- cita menjadi pejuang sejati di negeri ini
kalau kubalutkan sisa tanah binasa di wajah bumi ibu pertiwi
pada air mata yang tak kering dan basah, yang pandang- memandang
dengan tangan tangan maha laksa
tak putus- putusnya. aku bermuja asal muasal rindu
2.
kelak--aku lahir--dan kutatap lagi riang senyumnya
yang menyebut- nyebut jutaan arwah, yang tak jauh berkelana
seperti kemerdekaan dalam jiwa berdupa dupa
3.
kalau kau datang dari negeri persatuan
inilah kekuasaan. dunia tanpa tenda dan bertahta
yang terlahir dari rasa bangga
4.
maka dimana jejakku tiada berakhir
meniupkan lantah tahun tahun
adalah bendera kebangsaan
1.
aku juga punya cita- cita menjadi pejuang sejati di negeri ini
kalau kubalutkan sisa tanah binasa di wajah bumi ibu pertiwi
pada air mata yang tak kering dan basah, yang pandang- memandang
dengan tangan tangan maha laksa
tak putus- putusnya. aku bermuja asal muasal rindu
2.
kelak--aku lahir--dan kutatap lagi riang senyumnya
yang menyebut- nyebut jutaan arwah, yang tak jauh berkelana
seperti kemerdekaan dalam jiwa berdupa dupa
3.
kalau kau datang dari negeri persatuan
inilah kekuasaan. dunia tanpa tenda dan bertahta
yang terlahir dari rasa bangga
4.
maka dimana jejakku tiada berakhir
meniupkan lantah tahun tahun
adalah bendera kebangsaan
MEREBUT KOTA PERJUANGAN
setelah bertahun tahun kau tempuh sibak sibak jalan
dengan warna darah bendera dan beban dosa dosa pengabdian
dengan pupus tulang dan nasib nasib tanah yang dulu tersimpan
kugenggam kembali mimpi mimpi dan kerinduan kenangan
yang mengembang rekah di pucuk matamu. masa silam yang tertumpah luruh
yang membatu dari bentangan lama dan ribuan sejarah kemerdekaan bangsa
serta penghormatan tua untukmu. melalui senja bunga bunga daun
yang tumbuh, pohon pohon yang memajang sayup di paras jendela
mengabarkan tembang tembangan
dari masa lalu kau datang, menghabiskan sisa usai di tangan
di tanah ini. berlayarkan kapal kapal keringat melepas tragedi hidup
mengutuk salam kebebasan, menghabiskan bara jiwa di jalan jalan
yang bangkit ketika dunia baru dilahirkan dari bumi penjajahan perang kedua
dimana tempat tempat yang kau puja pernah menggubah masa depan
kini telah kembali berbuih pada ribuan jantung terkepal
bendera bendera dan pengkhianatan hidup antar suku budaya dan kenyataan
tanah ini telah lama memandang, ceceran darah bocah bocah kaum generasi
serta kenangan duka yang begitu lama beradu, dengan pengab jiwa
melawan dan mendesah dalam amarah. dan kemusnahan persatuan
yang dibarak bakar tegur sapa prasangka, dari dendam keyakinan
kedasar rasa amanat kemanusiaan
hingga tatapan itu telah tumbuh dengan sungkur dahaga dan perjuangan
sementara orang orang telah membunuh rabun impianmu yang dibutakan dalam ingatan
menjadi kabar resah seorang pejuang generasi yang tak pernah pulang
disana kota kota masih penuh dengan mandian cahaya dan letusan letusan senjata
bocah bocah yang melintas melembab ditengah jalan jalan berbatu
menyelamkan tapak jejak kaki jutaan barisan para pecundang
disini beribu alun kota dari jera gemuruh suara surag suragan
dihadapan panopang tombak sejarah estafet para pejuang tanah merdeka
dan tatapan matanya yang masih berlumut mewarnai bunga cempaka tulang punggung
serta kancap rusuk jantung kaum generasi, aspal lelorong; gedung gedung berbeton
dan harum tanah yang memekar dalam jiwa, membatu atap diujung daki
telah berulang kali kau kembali, menembus dendang tandus kelahiran
pemuda pemuda yang gagah bertahan dengan ikat selapang merah putih di kepala
bendera yang berkibaran di wajahnya menyimpan suara tanah dan lagu lagu tercinta
pada jalan jalan setapak, kota kota yang berdebu dan kemerdekaan dunia
maka lihatlah kini perjuangan itu telah dibuka. sebagai warisan anak bangsa
untuk menegakkan kembali impian dan kepemilikan jiwa jiwa
rasa tanggung jawab, harga diri dan negeri kedaulatan
di kota itu. sepanjang ujudmu, tanah ini telah lama menyalakan api
kemerdekaan para pejuang yang merintih menangisi kemenangan sejarah
tempat ingatan kelam tentang nama nama peristiwa dan pendosa takdir masa lalu
yang pernah memangkumu meninggalkan kampung negeri kelahiran
dibatas antara jeruji dendam dan kerinduan lama di ubun mataku
hingga kini kau dengar kembali irama kenangan haru di kota tu
yang telah tumbuh subur menjadi warna senyum dan canda bersama
masih kurindukan jua, pilar piar lembab dan berbau usia di tubuhmu
melewati derai musim, angin muzon yang mendedah ribuan gerbang
rumah rumah yang bergelora separuh jalan, mengapung jauh membasahi kembali
ikal bukit dan pulau pulau suram dijarah wajahmu
aku sudah lama percaya, kota ini. sambil mengenang lereng tanah tanah
dan tujan impian, dengan remang mata, berjatuhan hujan salju dalam tanganmu
yang dulu pernah mengulur merdu nyanyian dari sisa sisa mimpi yang rekah
mengabarkan kembali perjuangan tangan tangan yang menderai tewas di bumi halaman
aku terpendam sekian lama, di negerimu yang terus terjaga dengan dadap darah
menjadi jalan panjang berkelana dan berjuang merebut kembali kota impian
sejak dulu telah kujenguk lagi dari aqabah mimpimu, mungkin kau datang
dari ketulusan sejati menuju arah yang tersipu tangis dan deras airmata sukacita
setelah kini kau tinggalkan negeri masa lalu, yang mengakhir di datar jalan kota
pertempuran palang panorama hakiki dan pembelaan yang menyapa suatu masa
yang belum kita paham. telah terpisahkan kota kota diletus kenanganmu
gemuruh ledakan demi ledakan dari sisa trotoar yang mendidih sepanjang hidup
di jantungku, pada jejak gaduh jiwa jiwa ribuan korban yang terus bergelimpang
dalam putaran zaman, dari impianmu di tanah itu. telah kulalui pejuang pejuang tanah
yang merdeka, yang pernah mentaruh masa depan dengan kucuran darah
dan mimpi mimpi para penguasa
hanya padamu aku datang—kelak diantara mesra kenangan masa silam
merindukan kembali jejak pulang, dengan cerita kanak kanak dan dupa perjalanan
yang dibangun dengan sekarat jiwa semangat, tentang ikrar lama bendera bendera
tempat kau menunggu dari ronta ronta gelandangan, orang orang yang pernah menderita
di pintu sejarah, bocah bocah yang mengadukan kartu kartu penjajahan ratusan bangsa
masih kuingat di matamu, jejak itu telah lama mengembang sulang
membaluri tanah ini dengan perang nurani, perang saudara, perang antar suku
serta pertikaian pertikaian dan perang budaya antar peradaban
di kota itu seperti dulu kau temukan wajah wajah duka, yang terpendam
dengan sayup suara terlepas dan teriak lantang dalam kesumat kesedihan
kini mengayuh kembali pada zaman kolonial baru. mendaki dan menurun
dari curam kerinduan. hingga kemudian kaupun datang, melaju bisu dari balik mimpi
tersendat dan terjegah di kota itu, sambil mentaruh garis garis peta
dari taburan bunga bunga sarodem, di tanganmu yang lama tak berudara
mengguratkan safa fajar. ketika dulu pernah kulupa warna tanahmu yang muram
dilangit pendar jejakku sepanjang hidup dalam merebut kembali kota perjuangan
dengan warna darah bendera dan beban dosa dosa pengabdian
dengan pupus tulang dan nasib nasib tanah yang dulu tersimpan
kugenggam kembali mimpi mimpi dan kerinduan kenangan
yang mengembang rekah di pucuk matamu. masa silam yang tertumpah luruh
yang membatu dari bentangan lama dan ribuan sejarah kemerdekaan bangsa
serta penghormatan tua untukmu. melalui senja bunga bunga daun
yang tumbuh, pohon pohon yang memajang sayup di paras jendela
mengabarkan tembang tembangan
dari masa lalu kau datang, menghabiskan sisa usai di tangan
di tanah ini. berlayarkan kapal kapal keringat melepas tragedi hidup
mengutuk salam kebebasan, menghabiskan bara jiwa di jalan jalan
yang bangkit ketika dunia baru dilahirkan dari bumi penjajahan perang kedua
dimana tempat tempat yang kau puja pernah menggubah masa depan
kini telah kembali berbuih pada ribuan jantung terkepal
bendera bendera dan pengkhianatan hidup antar suku budaya dan kenyataan
tanah ini telah lama memandang, ceceran darah bocah bocah kaum generasi
serta kenangan duka yang begitu lama beradu, dengan pengab jiwa
melawan dan mendesah dalam amarah. dan kemusnahan persatuan
yang dibarak bakar tegur sapa prasangka, dari dendam keyakinan
kedasar rasa amanat kemanusiaan
hingga tatapan itu telah tumbuh dengan sungkur dahaga dan perjuangan
sementara orang orang telah membunuh rabun impianmu yang dibutakan dalam ingatan
menjadi kabar resah seorang pejuang generasi yang tak pernah pulang
disana kota kota masih penuh dengan mandian cahaya dan letusan letusan senjata
bocah bocah yang melintas melembab ditengah jalan jalan berbatu
menyelamkan tapak jejak kaki jutaan barisan para pecundang
disini beribu alun kota dari jera gemuruh suara surag suragan
dihadapan panopang tombak sejarah estafet para pejuang tanah merdeka
dan tatapan matanya yang masih berlumut mewarnai bunga cempaka tulang punggung
serta kancap rusuk jantung kaum generasi, aspal lelorong; gedung gedung berbeton
dan harum tanah yang memekar dalam jiwa, membatu atap diujung daki
telah berulang kali kau kembali, menembus dendang tandus kelahiran
pemuda pemuda yang gagah bertahan dengan ikat selapang merah putih di kepala
bendera yang berkibaran di wajahnya menyimpan suara tanah dan lagu lagu tercinta
pada jalan jalan setapak, kota kota yang berdebu dan kemerdekaan dunia
maka lihatlah kini perjuangan itu telah dibuka. sebagai warisan anak bangsa
untuk menegakkan kembali impian dan kepemilikan jiwa jiwa
rasa tanggung jawab, harga diri dan negeri kedaulatan
di kota itu. sepanjang ujudmu, tanah ini telah lama menyalakan api
kemerdekaan para pejuang yang merintih menangisi kemenangan sejarah
tempat ingatan kelam tentang nama nama peristiwa dan pendosa takdir masa lalu
yang pernah memangkumu meninggalkan kampung negeri kelahiran
dibatas antara jeruji dendam dan kerinduan lama di ubun mataku
hingga kini kau dengar kembali irama kenangan haru di kota tu
yang telah tumbuh subur menjadi warna senyum dan canda bersama
masih kurindukan jua, pilar piar lembab dan berbau usia di tubuhmu
melewati derai musim, angin muzon yang mendedah ribuan gerbang
rumah rumah yang bergelora separuh jalan, mengapung jauh membasahi kembali
ikal bukit dan pulau pulau suram dijarah wajahmu
aku sudah lama percaya, kota ini. sambil mengenang lereng tanah tanah
dan tujan impian, dengan remang mata, berjatuhan hujan salju dalam tanganmu
yang dulu pernah mengulur merdu nyanyian dari sisa sisa mimpi yang rekah
mengabarkan kembali perjuangan tangan tangan yang menderai tewas di bumi halaman
aku terpendam sekian lama, di negerimu yang terus terjaga dengan dadap darah
menjadi jalan panjang berkelana dan berjuang merebut kembali kota impian
sejak dulu telah kujenguk lagi dari aqabah mimpimu, mungkin kau datang
dari ketulusan sejati menuju arah yang tersipu tangis dan deras airmata sukacita
setelah kini kau tinggalkan negeri masa lalu, yang mengakhir di datar jalan kota
pertempuran palang panorama hakiki dan pembelaan yang menyapa suatu masa
yang belum kita paham. telah terpisahkan kota kota diletus kenanganmu
gemuruh ledakan demi ledakan dari sisa trotoar yang mendidih sepanjang hidup
di jantungku, pada jejak gaduh jiwa jiwa ribuan korban yang terus bergelimpang
dalam putaran zaman, dari impianmu di tanah itu. telah kulalui pejuang pejuang tanah
yang merdeka, yang pernah mentaruh masa depan dengan kucuran darah
dan mimpi mimpi para penguasa
hanya padamu aku datang—kelak diantara mesra kenangan masa silam
merindukan kembali jejak pulang, dengan cerita kanak kanak dan dupa perjalanan
yang dibangun dengan sekarat jiwa semangat, tentang ikrar lama bendera bendera
tempat kau menunggu dari ronta ronta gelandangan, orang orang yang pernah menderita
di pintu sejarah, bocah bocah yang mengadukan kartu kartu penjajahan ratusan bangsa
masih kuingat di matamu, jejak itu telah lama mengembang sulang
membaluri tanah ini dengan perang nurani, perang saudara, perang antar suku
serta pertikaian pertikaian dan perang budaya antar peradaban
di kota itu seperti dulu kau temukan wajah wajah duka, yang terpendam
dengan sayup suara terlepas dan teriak lantang dalam kesumat kesedihan
kini mengayuh kembali pada zaman kolonial baru. mendaki dan menurun
dari curam kerinduan. hingga kemudian kaupun datang, melaju bisu dari balik mimpi
tersendat dan terjegah di kota itu, sambil mentaruh garis garis peta
dari taburan bunga bunga sarodem, di tanganmu yang lama tak berudara
mengguratkan safa fajar. ketika dulu pernah kulupa warna tanahmu yang muram
dilangit pendar jejakku sepanjang hidup dalam merebut kembali kota perjuangan
INFEKSI KESUNYIAN
airmata yang kau sulam
menyisakan kemarau dalam sujudku
: perih
menyisakan kemarau dalam sujudku
: perih
TEMBANG-TEMBANGAN
--kawan-kawan dari timur
malam turun, ribuan kelelawar hijrah
meninggalkan riwayat bayang-bayang
tumpukan jerami busuk, bersemayam daun-daun
empat batang lilin, musim membanjir di halaman
menjelang pedalaman waktu
angin diam
ruang gerak
menyisakan celah dingin di rongga reranting
masih kita bayangkan
seanyam kembang berayun langkah di lepas jalan
malam turun, ribuan kelelawar hijrah
meninggalkan riwayat bayang-bayang
tumpukan jerami busuk, bersemayam daun-daun
empat batang lilin, musim membanjir di halaman
menjelang pedalaman waktu
angin diam
ruang gerak
menyisakan celah dingin di rongga reranting
masih kita bayangkan
seanyam kembang berayun langkah di lepas jalan
INTERIOR ANGIN
telah kutaruh deru angin di sudut reruang, semua musim
dan gugur daun. tapi masih topan itu yang menderu
di matamu. aku terjebak seruang puncakmu,
semua dalam ribuan tahun perjalanan memeluk angin
dan jejak pecah dalam gelisah nafas panjang dan lepas
seperti tak sebentang rindumu, saat detak jam waktu
mendebarkan gandrung menjadi sebentuk sungai
agar hanya jiwa yang terbelah desiran darah menetes melukai ketubuhmu
kaupun akan mewiridkan dendam di bawah bendera
yang terkulai dari lubukku
sambil mengunyah sisa tangis di tepi jalanan
lalu dengan selam darahku yang tergolek menatap awan
kau tak bisa mengena jangkauku separuh seluas laut
dan menarik cairan kata sebening hampa dari bibirmu
lalu memerasnya kelelubang maut
dan dari semua pengembaraanku itu
aku hanya ingin temukan semenanjung cinta dari samudramu
tempatku mengaduk gunung-gunung dan membakarnya
atas belahan do'a dan hidupku
maka biarkanlah kini hanya tinggal sampah mengkarat
dalam semak abjad dari retak ratusan tahun sejarah
dan riuh suara jalanan
JAZIRAH KERINDUAN
I)
apa yang dapat kau mengerti dari sajak-sajakku kali ini
tentu tak dapat kau tamukan berita yang pasti
beku yang menyumbal di otak
bersama arus liar yang tersisa di alis matamu
paragraf luka yang mencoba menyaput jangtungku menjadi kisah para penyair
sementara disini sajak-sajakku berteriak nyaring
" wahai dengarlah para perindu ?". tapi tak ada yang terbaca
semua kelam
di sungai-sungai ini hanya arus liar mengobrak- abrik tubuh
yang menggelepar di batu-batu hangus
dan membawa api pemujaanmu berlayar ke sebuah negeri yang terbakar
pernahkah kau bayangkan selepas angin dan badainya menyambar sukma?
di sepanjang musim dapat kau rindui rengat-rengat nafasku
lalu muara-muara perlahan berdesir di bawah terik matahari
ii)
jangan kau tanya sajak-sajakku kali ini
rumput-rumput sudah lama terdiam pada gubuk angin dan selimut sepi
kenangan menjadi sepenggal nyanyian cinta yang kerap terdampar di jalan- jalan
bersama renta pasir yang sarat menyisiri gemuruh badai do'a-do'amu
"aku ingin jadi penyair".tapi tak ada kata -kata disini
semua kering
hutan-hutan telah menjelma lolongan air mata
dan tak ada yang dapat manafsirinya
hanya cuaca kawah menunggu, menjerit, menembus langit
terkepak menyandang burung-burung
gerimis berdebar dengan mantra-mantra batu
angin, dan rumput berkabut terperanjat lalu menjerit saat malam menyapu
tak ada yang perlu kau mengerti dari sajak-sajakku kali ini
bumi telah kuyup oleh basah hujan
lalu menjelma burung-burung yang hinggap di setiap dataran teduh jiwaku
di perbatasan sunyi
dengan sesirah cahaya,
lumpur-lumpur mendekapku,dan lekuk pandang patah
bertebaran menggelegakkan sebuah perhitungan baru
dari rahim palung paling terjal
mengantarkan jejak basah pada cadas karang yang telanjang
tebing berpuing, berujung membirukan sebuah kota yang tenggelam
riak dan muara-muara kutukan
iii)
apa yang dapat kau mengerti dari sajak-sajakku kali ini
tentu tak dapat kau temukan berita yang pasti
dan laut hanya menyisakan badai dari keringat-keringat sajadahmu
menyajikan pengap dari biru ajalku
cuaca berpagut bersama seserpih langsat dari aroma hangus
pada kemarau nafasmu menghujamku mengaliri lelembah sunyi
"aku ingin jadi penyair ".tapi tak ada yang sanggup kulukis disini
semua hilang lenyap
yang kulihat hanya gejolak api sabdamu gemetaran menyumpahi daun-daun
perlahan membakar habis tebing ngarai yang berliku dalam tubuhku
menyulap pasir-pasir merinduinya sepanjang abad
RUMAH PERDAMAIAN
setiap kali kaki berjejak memasuki gerbang tua
pada tungku lagu tanah air dibatas samadi lukisan rumah pinggir jalan
dalam retak lama dan buku buku sejarah prasasti anak bangsa
tentang arah setapak yang dulu pernah menuntun impian negeri pulang
diantara tiang tiang pintu dan gelora hasrat yang terpental memupus mimpi
seperti jalan jalan panjang yang diam mengarak
menembus hari abadi di ruang ruang
sedang disini telah lama kita menunggu
suara kedamaian pada tahun tahun tersangai
diruap pengungsi dan meriam meriam penjajahan
mengurai kembali hening gema. ketika periman agama
yang tertakluk memutar aroma kembang
masih ada bekas bekas busuk keringat kaum duafa
di peremangan asin kota; telah memeluk liar jiwa
menahan matahari ketika senja
dan sebelum taji sejarah saling berdekap di badan badan
--di negeri ini sekadar hari depan
rumah rumah telah kita bangun bersama
sebab mereka akan kembali
membawa zaman yang lebih berarti
dengan pergerakan yang dibarak barak
mengobar langit angkasa nurani
seperti hari telanjang tegak di matamu
hingga telah kita dulang segala mimpi yang punah
dideret ruang tempat kau membela diri dari paksa
sambil menjaga sejarah sejarah itu
pada ruang rancak dari semesta luka
martabat yang dipegang imarah kekuasaan
seluruh jantung telah menerima
laras senapan dan biji biji peluru keadilan
yang tersengal gumpal darah kaum hawa
dan deru pilu jendela jendela pintu yang terasing di rahimnya
bertahun tahun kita besuk peradaban manusia
melalui pori tulang punggung wajah wajah dikanan kiri
dan kearifan impian yang terdinding hampa
menjadi tempat memuja dan meneror gerbang gerbang jiwa
sementaran kini telah kau pisahkan dari jejak itu
orang orang yang datang menuju garis perigi
dengan nyala musim dibawah penghulu tumpul
batu batu yang tercipta tengadah ke langit
dalam surjan taklim remang pengasingan
--di negeri ini hujan api yang langgeng
telah kau hujahkan sepanjang hayat
sampai dalam hakikat jiwa
para kaum kaum damai yang saling tertembak
dengan kalong silang warna kemerdekaan
para perempuan perempuan yang digiring menghadap
dengan rajah buru kayu bakar dilekat dada
mengenalnya tarekat
kejalur lurus abdi kehidupan
pergilah ke rumah itu. rumah rumah penduduk jiwa
tunduk dan tunduk. disini tempat asal muasal dzat agung
yang tersembunyi kedalam jimat harga diri
ketika kedatanganmu bumi pertama
kedamaian yang terajarkan di tangan tangan
dari beban nurani saling berpagut sembah menyembah
melupa derita panjang pada bumi dan jagad
seperti aku berjalan. hanya gerak dan hari depan
tempat memandang luas berulang
maka pintu rumah itu segera terbuka
lalu kaupun berjalan dalam bayangan rendah
dari sudut gerbang. tangga waktu dari langit
dari belenggu tanah dan revolusi zaman
ditandu tandu dalam dekap erat seorang pengadil masa lalu
yang bertahun meminangmu
dengan tubuh telanjang
menjadi patner sejarah
dan zionis kemanusiaan
dari mana mereka datang, penuh bunga dikenang rindu
jalan jalan yang memanggung hari hari tersanjung
dan suara hidup seperti lagu semu pembebasan yang jauh
telah terurai jejakmu dengan patung patung jamaat bangsa
melalui sejarah peradilan dari masa ke masa
--di negeri ini. rumah rumah itu meratakannya
dari buru damai. dari koridor koridor panjang kegaduhan
dengan semangat imbang generasi
berjuta juta isme sukacita para penguasa
para makelar rakyat dengan jiwa rekah di matanya
dan perempuan perempuan pergerakan
maka tibalah aku pada sebuah frakmen akhir
sebujur karat cerita tak bernama
membawaku pergi ke taring taring yang saling berdayung
berdebar di pangkal abad pembantaian
dari teluk akidah kaum barsala, tabiat sumaral shahabiyah
dalam perang panjang dan cambukan zaman
telah kutakluk segala kitab suci
dan firman firman yang menghujahku
--di negeri ini. rumah rumah itu setengah tengadah
terbungkuk sebentang wajahmu, menerima surut waktu
yang tergusur ketika benih benih di dada birahi
terusir dari tidur panjangmu di rawa rawa suci
tanpa butir kelamin
tanpa ubun usia
menghidupinya
sementara kau masih mengembara separuh hayat yang berbeda
segala telah bermula pada sebuah tandu tungku
tempat sejarah sejarah yang rebah bangkit jauh
mengejar cebur hasrat lagu himne yang dilepas pikul
bersama dayung cerita dari segairah perjalanan
mengusungku ke langit tujuh lapis
lalu mereka menempuhmu disana
diantara lorong lorong beku
menyimpan lingkaran gaung raksasa
dengan harum tanah yang merindu
seribu tahun kemudian
kita berjalan kembali; melepas beban negeri
di dunia yang tak terbayangkan
penuh revolusi, bau busuk organiser
terjaga dengan ribuan kalut hidup
telah kupandang ujudku warna yang menyatu
menjadi satu jalan sepanjang barisan
sedang disini telah lama kau menunggu. yang memudar
antara amanat dan surag pandang dari seluruh tangan tanggung jawab
tentang perlawanan janji dan kemerdekaan generasi bangsa
dari situs lama dan bekas tahta tahta pasang surut umat
bahwa rumah keadilan adalah tebusan harta kuasa
untuk mereka membuka wajah nurani dari peledakan demi peledakan
yang menggaris lembah jiwa mereka diantara medan kebebasan
--di negeri ini. beberapa hari kita bersatu
menjalani rumah rumah waktu. untuk saling berikrar
warna palang panorama muda, dengan laskar para pejuang
sebab tak ada lagi yang musti sepadan lawan
dari pergerakan. perdamaian ini dibarak barak menuju langit
setelah persayatan salam, bumi kembali merdeka
atas nama umat kemanusian
hingga kini masih seperti kulalui hari hari usang
diantara jeruji gerbang memasuki rumah tua itu
untuk menggenggam semangat yakin keadilan
melalui raga berdarah tubuh tubuh yang tertinggal senanam mawar
gemuruh jiwa jiwa dan sumpah nama nama yang saling bertukar
memenuhi alun kota, dari jalanan hingga puing kekalahan
dan bendera bendera yang marak terkibarkan di tangan tangan
hanya terpandang lanskap puncak dan mimpi mimpi semu
roh roh berjuta zaman yang membatu didaki kaki kaki
pada ribuan mil jarak peradaban terbentang dipendar rusuk
wajah wajah yang lalu lalang membuka ruang seperti lipatan kelam
saling berdangak kedepan memangku rumah rumah baru
menuju jalan jalan panjang yang saling beradu begitu lama
berikrar untuk saling percaya mempercayai kata
dari waktu ke waktu melawan bayang bayang
dan impian kemerdekaan perdamaian
POLES*
kakek berusia ribuan tahun itu kembali merana
dari bukit ambar ke bukit savana. tempat dimana
api dulu pernah dijadikan ruang pemujaan bintang bintang
tepat ditengah kubangan darah, bagai percik air hujan
menenggelamkan butiran karang dalam samudera
saat lumut lumut menguapkan harum tanah
memantulkan bongkahan pasir kedasar bumi
hingga suatu kelak kuceritakan padamu
sekerat kisah pengembaraan panjang dari kamus usia yang terbuang
mengayuh dari gayam wasiat orang orang terdahulu
dalam pukat mataya. saat gelegak raung disahut kembali
mengasah guntur dan hujan, cuaca purna dalam abjad aksara aksara
maka kini aku datang. dilapis bumi pertama
saat langit hampir maghrib, daun daun terhempas gugur
menjemput senja usia diahar semesta
hingga kau biarkan segenggam sejarah berterbang
dari sisa lukisan peta tangis dalam sebingkai ijazab
kemurungan panjang bagi bumi dan langit
bagai anyir sembilu menggerus dahaga berlubang dan membeku
aku tahu. disini dahulu saat bocah bocah mengapas telinganya
jantung berdedah , mengguncangkan kisah kisah tak pernah usai kau baca
dan kau dari sebatang tombak, saat itu bertekuk lamun dalam ingatan kelam
melepas diri kelengang pantai
darah! darah! darah!
hingga perlahan ranting pohon pohon dihalamanmu
mengeras, menjelma fosil tulang asap debu dalam pangkuan
yang berbiak bersama desakan angin dari puncak segara penjuru
kupandang datar dari jarak jauh
laksa rambutmu mengiris tajam mimpi masa lalu
bagai bentang didih ke angkasa
hingga peperangan
antara darah dan kekuasaan
yang kau bungkam dalam dalam
dada yang membara
jiwa yang merana
telah berakhir pada kepalsuan hidup
maka disini kemudian jejakmu terurai cemas
pada lembar lembar kesunyian
batu batu dan belukar gunung
--kepulangan diri dari kediaman sejati
selembar perasaan dan naluri
hingga akhirnya saat itu
senapan tua di tanganmu kembali gemetar
mencengkeram semesta, membuncah dalam nalar
cecahnya suar daun yang gugur
sebelum sampai
sebelum sampai
hangus! hangus! hangus!
;dalam impian menjadi kenyataan
dari bukit ambar ke bukit savana. tempat dimana
api dulu pernah dijadikan ruang pemujaan bintang bintang
tepat ditengah kubangan darah, bagai percik air hujan
menenggelamkan butiran karang dalam samudera
saat lumut lumut menguapkan harum tanah
memantulkan bongkahan pasir kedasar bumi
hingga suatu kelak kuceritakan padamu
sekerat kisah pengembaraan panjang dari kamus usia yang terbuang
mengayuh dari gayam wasiat orang orang terdahulu
dalam pukat mataya. saat gelegak raung disahut kembali
mengasah guntur dan hujan, cuaca purna dalam abjad aksara aksara
maka kini aku datang. dilapis bumi pertama
saat langit hampir maghrib, daun daun terhempas gugur
menjemput senja usia diahar semesta
hingga kau biarkan segenggam sejarah berterbang
dari sisa lukisan peta tangis dalam sebingkai ijazab
kemurungan panjang bagi bumi dan langit
bagai anyir sembilu menggerus dahaga berlubang dan membeku
aku tahu. disini dahulu saat bocah bocah mengapas telinganya
jantung berdedah , mengguncangkan kisah kisah tak pernah usai kau baca
dan kau dari sebatang tombak, saat itu bertekuk lamun dalam ingatan kelam
melepas diri kelengang pantai
darah! darah! darah!
hingga perlahan ranting pohon pohon dihalamanmu
mengeras, menjelma fosil tulang asap debu dalam pangkuan
yang berbiak bersama desakan angin dari puncak segara penjuru
kupandang datar dari jarak jauh
laksa rambutmu mengiris tajam mimpi masa lalu
bagai bentang didih ke angkasa
hingga peperangan
antara darah dan kekuasaan
yang kau bungkam dalam dalam
dada yang membara
jiwa yang merana
telah berakhir pada kepalsuan hidup
maka disini kemudian jejakmu terurai cemas
pada lembar lembar kesunyian
batu batu dan belukar gunung
--kepulangan diri dari kediaman sejati
selembar perasaan dan naluri
hingga akhirnya saat itu
senapan tua di tanganmu kembali gemetar
mencengkeram semesta, membuncah dalam nalar
cecahnya suar daun yang gugur
sebelum sampai
sebelum sampai
hangus! hangus! hangus!
;dalam impian menjadi kenyataan
MENJELANG SORE
kembali daun daun bergugur
di pangkuan
menyerpih ke kampung rumah
dan kolam taman
ranting kecil, yang diam menjalar
menggali arus sungai
sepanjang pesisir
tempat petani pulang
menjelang mimpi usai
di gubuk gubuk
dimana kelelawar kelelawar
menghijrah pekarangan kembang
antara musim kemarau
dan ceruk teluk
lepas angan
riwayatmu berakhir
ada masa suatu waktu
yang takkan berubah uban
lengkap pepagar
menebar bunga kamboja
tentang sampiran syair
yang gagar berulang
kalau kau pergi
agar hari tak terperi
menundakan jejak ziarah
kau simpan rubuiyat senja
dan percakapan suci
seperti dulu
dan senyummu
tetap rekah pucuk pucuk mawar
disepanjang jalan pulang
menjelang sore usai
di pangkuan
menyerpih ke kampung rumah
dan kolam taman
ranting kecil, yang diam menjalar
menggali arus sungai
sepanjang pesisir
tempat petani pulang
menjelang mimpi usai
di gubuk gubuk
dimana kelelawar kelelawar
menghijrah pekarangan kembang
antara musim kemarau
dan ceruk teluk
lepas angan
riwayatmu berakhir
ada masa suatu waktu
yang takkan berubah uban
lengkap pepagar
menebar bunga kamboja
tentang sampiran syair
yang gagar berulang
kalau kau pergi
agar hari tak terperi
menundakan jejak ziarah
kau simpan rubuiyat senja
dan percakapan suci
seperti dulu
dan senyummu
tetap rekah pucuk pucuk mawar
disepanjang jalan pulang
menjelang sore usai
KEMBALI KE NEGERI
kawan-kawan dari timur
kau datang sebelum
fajar terbit
disubuh tanganmu
bersama pukat daun tembakau
yang runduk dalam belaian angin
kau sudah lama
lupa kota ini
sehabis bersua dijalan
aku terajut, kau singgah pulang
dan mereka kembali ke negeri
mencari kenangan
sepanjang jejak
sepanjang hari hari usang
melepas kerinduan
kau pandangi hijau tanah
berhias kuncup kembang
aku terkenang kampungmu
juga percakapan yang menanti
mengabar kini ditangan
pada jejakku menuju kota
kau tahu
kota itu. ucapmu
buat kita bertemu
pertama kali sejak lahir
berpisah. sama menyusuri dunia
seperti puncak dahulu
kali keringat mengalir
keseluas jarak
kau tempuh. laut mengasin
gelombang membendung
arus dalam jiwa
menjelma dahaga
lalu mereka kembali
ke negeri, mencari kenangan
diseluruh rambut dan usia
menganyam yang hilang
dan masa lalu yang terbuang
namun kau akan datang
sebelum fajar terbit, subuh
di tangan bersama silsilah bunga tembakau
yang punah dalam tanda kelahiran
kau datang sebelum
fajar terbit
disubuh tanganmu
bersama pukat daun tembakau
yang runduk dalam belaian angin
kau sudah lama
lupa kota ini
sehabis bersua dijalan
aku terajut, kau singgah pulang
dan mereka kembali ke negeri
mencari kenangan
sepanjang jejak
sepanjang hari hari usang
melepas kerinduan
kau pandangi hijau tanah
berhias kuncup kembang
aku terkenang kampungmu
juga percakapan yang menanti
mengabar kini ditangan
pada jejakku menuju kota
kau tahu
kota itu. ucapmu
buat kita bertemu
pertama kali sejak lahir
berpisah. sama menyusuri dunia
seperti puncak dahulu
kali keringat mengalir
keseluas jarak
kau tempuh. laut mengasin
gelombang membendung
arus dalam jiwa
menjelma dahaga
lalu mereka kembali
ke negeri, mencari kenangan
diseluruh rambut dan usia
menganyam yang hilang
dan masa lalu yang terbuang
namun kau akan datang
sebelum fajar terbit, subuh
di tangan bersama silsilah bunga tembakau
yang punah dalam tanda kelahiran
Petani
di temaram langit lengang
dimuram tanah tanah sawah ini
kau hanya cukup sekali tahu untuk mengerti
hidup dimana musti berulang- ulang kata
dan kematian. makna penantian pagi
maka bertahun- tahun telah berderai
senja abadi daun daun berguguran
melambai helai angkuh matamu menyentuh sunyi
sambil melepas gerimis kepucuk telaga
keseluas ladang ladang
kemudian menanda kemarau
bersama sayap sayap kemilau
terpindah koak panjang burung gagak
sehabis mengabarkan syair ketapang
hingga kau masih termangu menunggu
akupun singgah. menjaga malam sekejap mimpi
dan tanganmu jadi perahu. jejak itu telah berlayar
menembus dari gelora mutiara tanah, lalu kau bangun rumah
yang mencair dalam sajadah pasrah
sebab saat laut terlempar
dengan degup dahaga. senandung cangkul dan bajak sawah
bertengger di bawah pelupukmu
tanpa peraduan sekian waktu
tapi. kau hanya cukup sekali tahu untuk mengerti
hidup dimana musti berulang- ulang duka
dan kematian. makna perjalanan pagi
maka disepanjang koridor yang lahir
iringan burung burung terbang menukik pukat padi
sekawalan tankotan yang menguning dipucuk sawah
mengantar debaran lalu lalang dalam hati
hingga bunga bunga itu terlalu indah
untukmu menyusuri sujud, sedalam hasrat mimpi
dan mengubur ibadah usia
di telapak kaki bumi
sebab. kau hanya cukup sekali tahu untuk mengerti
hidup dimana musti berulang- ulang senja
dan kematian. makna pengabdian pagi
dimuram tanah tanah sawah ini
kau hanya cukup sekali tahu untuk mengerti
hidup dimana musti berulang- ulang kata
dan kematian. makna penantian pagi
maka bertahun- tahun telah berderai
senja abadi daun daun berguguran
melambai helai angkuh matamu menyentuh sunyi
sambil melepas gerimis kepucuk telaga
keseluas ladang ladang
kemudian menanda kemarau
bersama sayap sayap kemilau
terpindah koak panjang burung gagak
sehabis mengabarkan syair ketapang
hingga kau masih termangu menunggu
akupun singgah. menjaga malam sekejap mimpi
dan tanganmu jadi perahu. jejak itu telah berlayar
menembus dari gelora mutiara tanah, lalu kau bangun rumah
yang mencair dalam sajadah pasrah
sebab saat laut terlempar
dengan degup dahaga. senandung cangkul dan bajak sawah
bertengger di bawah pelupukmu
tanpa peraduan sekian waktu
tapi. kau hanya cukup sekali tahu untuk mengerti
hidup dimana musti berulang- ulang duka
dan kematian. makna perjalanan pagi
maka disepanjang koridor yang lahir
iringan burung burung terbang menukik pukat padi
sekawalan tankotan yang menguning dipucuk sawah
mengantar debaran lalu lalang dalam hati
hingga bunga bunga itu terlalu indah
untukmu menyusuri sujud, sedalam hasrat mimpi
dan mengubur ibadah usia
di telapak kaki bumi
sebab. kau hanya cukup sekali tahu untuk mengerti
hidup dimana musti berulang- ulang senja
dan kematian. makna pengabdian pagi
Subscribe to:
Posts (Atom)