Thursday, May 10, 2007

POLES*

kakek berusia ribuan tahun itu kembali merana
dari bukit ambar ke bukit savana. tempat dimana
api dulu pernah dijadikan ruang pemujaan bintang bintang

tepat ditengah kubangan darah, bagai percik air hujan
menenggelamkan butiran karang dalam samudera
saat lumut lumut menguapkan harum tanah
memantulkan bongkahan pasir kedasar bumi

hingga suatu kelak kuceritakan padamu
sekerat kisah pengembaraan panjang dari kamus usia yang terbuang
mengayuh dari gayam wasiat orang orang terdahulu
dalam pukat mataya. saat gelegak raung disahut kembali
mengasah guntur dan hujan, cuaca purna dalam abjad aksara aksara

maka kini aku datang. dilapis bumi pertama
saat langit hampir maghrib, daun daun terhempas gugur
menjemput senja usia diahar semesta

hingga kau biarkan segenggam sejarah berterbang
dari sisa lukisan peta tangis dalam sebingkai ijazab
kemurungan panjang bagi bumi dan langit
bagai anyir sembilu menggerus dahaga berlubang dan membeku

aku tahu. disini dahulu saat bocah bocah mengapas telinganya
jantung berdedah , mengguncangkan kisah kisah tak pernah usai kau baca
dan kau dari sebatang tombak, saat itu bertekuk lamun dalam ingatan kelam
melepas diri kelengang pantai
darah! darah! darah!

hingga perlahan ranting pohon pohon dihalamanmu
mengeras, menjelma fosil tulang asap debu dalam pangkuan
yang berbiak bersama desakan angin dari puncak segara penjuru

kupandang datar dari jarak jauh
laksa rambutmu mengiris tajam mimpi masa lalu
bagai bentang didih ke angkasa
hingga peperangan
antara darah dan kekuasaan
yang kau bungkam dalam dalam
dada yang membara
jiwa yang merana
telah berakhir pada kepalsuan hidup

maka disini kemudian jejakmu terurai cemas
pada lembar lembar kesunyian
batu batu dan belukar gunung
--kepulangan diri dari kediaman sejati
selembar perasaan dan naluri

hingga akhirnya saat itu
senapan tua di tanganmu kembali gemetar
mencengkeram semesta, membuncah dalam nalar
cecahnya suar daun yang gugur
sebelum sampai
sebelum sampai
hangus! hangus! hangus!

;dalam impian menjadi kenyataan

1 comment:

Yaya septia khuria sa'adah said...

sajak memang tak pernah meninggalkan keindahan