Thursday, May 10, 2007

SKETSA BUKIT SAJADAH

--payudan1

di bukit itu
seperti dahulu aku melihatmu dari jendela kelam, melalui sungai yang mengalir
dalam sajadahmu. dan kutempuh jarak dari ulur waktu sepanjang siang
sepanjang malam
lalu kau lukis rinduku dengan tebing- tebing curam yang terlepas dari kenangan
aku berjalan mendaki seluruh kepedihan dari perih luka
kota yang jauh, bahkan laut dan batu-batu karang
disepanjang pantai

di bukit itu daun-daun menggugurkan kemarau, seperti jejatuh embun
dari pucuk ranting memahat batu-batu ke tubuhku
sementara angin di luar bertiup sangkal, kerontang jiwaku mengasah musim
dan burung-burung dari kejauhan menimbun kesunyian yang semakin memberat
meski rimbun dedaun itu memeram gerimis di sela dingin
bumi yang terus menggigil, pada putaran-putaran rindu dalam jantungmu

di bukit itu
seperti dahulu pohon-pohon dan ladang rumput gersang
dan kabut yang bangkit dari puncak gunung, berdesir menampung nyeri
lalu mengalir bersama gerai hujan dan airmataku, luruh ke bumi
disepanjang tol jalan meresap sunyi yang gemuruh
ke hutan dan belukar-belukar dalam dekapan panjang nafasmu

di bukit itu cinta tertanam dan kini telah mulai berkembang
wanginya menyentak keheningan, sukmamu dari mimpi dan goncangan- goncangan luka
menampung berlaksa resah, hingga samudra meratap, pupus angan
di pucuk mendung yang terbuai rindu
sebelum pecah takbirku

di bukit itu
seperti dahulu di antara ranting-ranting dan bunga yang berguguran
kurentangkan tangan yang mengapung di benua jauh
pada deru debu menjelma kemarau bagi trotoar jalan, angin yang tumbang
menyuburkan bintang-bintang, dan do'amu menghempas ke tebing-tebing malam
dari bongkahan-bongkahan batu dan gemericik air yang menggelora
di denyut bismilahmu. sementara di bukit itu
kakiku tersedak membangun rotasi diantara rangkaian asah tasbih
meneteskan nanah berbau kembang
di antara warid2 bebatuan, tanah gemetar tersumbat serampan cuaca
hingga hujan runtuh dalam sujudku

di bukit itu sebutir cahaya yang terselip di kuncup mawar, menancap
diantara gundukan-gundukan gunung dan gelombang di tengah tengadahmu
yang menyambar ke jantung dahaga dan tangis dari letih do'aku
maka kulayarkan sajadahmu merangkai mantra-mantra semesta
yang terperam dalam langit-Nya
lalu dari ratapan anganku, semburat musim jadi tua
menyayat bengkak, mengalir bersama nganga tubuhmu
menggoroh tanah dari genta rinduku
menggemakan pekik luka menjadi muara airmata

di bukit itu
seperti dahulu aku mencicipi manis kemarau
di padang hati yang kering, pohon-pohon naluri
bunga yang di tanam dalam do'amu tumbuh menggores ke jantung jiwaku
menyembur jurang darah, membiuskan kesunyian

di bukit itu kulihat kau masih kelam
menyimpan gelegat rindu dan gelombang mabuk air mata
dan pada tarian sajadahmu yang menepi ke lubuk lahatku
cinta kita mengapi, masih kureguk sebagai haus luka dan kesepian
ajalku, didalamnya sungai dan laut tak selesai kubaca
memasungkan bingkai matahari dan bulan ke nafas waktu
dalam do'a-Nya



*catatan:
1. nama sebuah dataran( bukit ) tertinggi di Madura yang terletak di desa Nangger, Guluk- guluk, Sumenep Madura 2 dalam istilah kamus sufi berarti suatu hidayah (petunjuk)yang di turunkan kedalam hati seorang hamba tampa di minta, kata warid juga di artikan dengan pengetahuan intuitif, ilham dan lain sebagainya.


** catatan:
puisi ini merupakan pemenang kedua lomba cipta puisi tingkat remaja nasional 2006, dalam rangka Bulan Bahasa dan Sastra 2006, yang diadakan Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional, yang diumumkan pada bulan november lalu, di Jakarta.

2 comments:

AZIZAH ZEE said...

karya2 mu sangat bagus. kembangkan! dan jangan pernah berhenti untuk berkarya. aku jadi pengen seperti kamu. tapi kita adalah dua sisi yang berbeda. tapi aku cukup puas, bila melihat daftar penulis Annuqayah bertambah.
teruskan imajinasimu!

A'yat said...

aku mengucapkan terima kasih atas apresiasimu ini, semoga kita bisa menghargai hidup dengan cara selalu berkarya, karena itu jalan satu-satunya kita bisa memberi kepada yang lain, dan setiap dari kita berhak mengagumi, apalagi tak ada orang besar, bila tidak meneladani yang sudah terdahulu...